Beberapa Foto
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
25 | 26 |
Pada tahun 1846 pemerintah Hindia Belanda menguasai daerah Bali dan menjadikan Kota Singaraja sebagai pusat pemerintahan di Pulau Bali. Sebagai kota pusat pemerintahan maka dibangunlah berbagai fasilitas kota termasuk diantaranya adalah Pelabuhan Buleleng. Selain membuat pelabuhan utama pemerintah Hindia Belanda juga membuat jalan utama baru menuju pelabuhan. Keberadaan dari jalan ini telah mempengaruhi tata ruang tradisional Buleleng yaitu dengan mengubah aksis kota yang berpusat pada catus patha (pempatan agung) menjadi ke kantor pemerintah Hindia Belanda. Keberadaan dari aksis kota yag baru ini memudahkan pemerintah Hinda Belanda dari Kantor pemerintahannya untuk dapat memantau (meneropong) aktifitas di pelabuhan.
(gambar
disamping adalah ilustrasi perkembangan Kota Lama Singaraja)
Sumber:
Santika 2011
Pelabuhan
Buleleng pada masa Pemerintahan Hindia Belanda merupakan pintu gerbang utama
Pulau Bali. Berbagai fasilitas pelabuhan seperti: dermaga, gudang, terminal,
kantor pabean dan jembatan yang menyeberangi Sungai Buleleng dibangun di
kawasan ini. Pesatnya pertumbuhan kawasan pelabuhan membuat perkampungan
nelayan bugis bergeser dari kawasan ini, kawasan pelabuhan diutamakan sebagai
kawasan pegudangan untuk distribusi barang. Aktifitas yang ramai pada Pelabuhan
Buleleng memberi pengaruh pada kawasan disekitar pelabuhan yang mulai menjadi
kawasan perdagangan. Deretan pertokoan mulai bermunculan di kawasan ini,
sebagai sarana jual-beli barang distribusi pelabuhan. Pertokoan ini sebagian
besar dimiliki oleh kaum dari etnis Cina, yang memang terkenal sebagai bangsa
pedagang.
Semua
distribusi barang dari dan keluar Bali melalui pelabuhan ini. Sebagian besar
hasil ternak dan hasil bumi dari Bali diekspor ke Malaka dan Hongkong melalui
pelabuhan ini. Banyak kapal-kapal besar berlabuh di dekat pelabuhan sebagai
penghubung kota-kota pelabuhan di nusantara seperti Semarang dan Makasar, serta
kota-kota di Sunda Kecil seperti Ampenan dan Kupang. Kondisi kedalaman laut di
daerah ini tidak terlalu dalam sehingga walaupun telah dibuatkan dermaga kapal-kapal
besar tidak dapat merapat langsung ke daratan. Kegiatan bongkar muat kapal
besar dilakukan dengan bersandar di tengah laut kemudian dengan mengunakan
kapal yang lebih kecil untuk mencapai dermaga.
Berdasarkan
catatan sejarah perjalanan wisatawan yang pertama kali menuju Bali pada tahun
1920 masuk melalui pintu utama yakni Pelabuhan Buleleng ini. Dari sinilah para
wisatawan mulai melakukan perjalanan di kawasan Bali, jika. Ketertarikan
wisatawan akan budaya dan keindahan alam Pulau Bali membuat aktifitas pelabuhan
tidak hanya di dominasi oleh perdangan semata. Pelabuhan Buleleng sebagai
pelabuhan pertama di Bali layak ditempatkan sebagai monumen pariwisata yang
paling penting, pengingat pelabuhan ini selalu muncul daam setiap catatan
sejarah pariwisata Bali (Suardana, 2005).
Daya tarik
dari kawasan ini sesungguhnya telah ada sejak tahun 1811, jauh sebelum Hindia
Belanda menguasai daerah ini. Pada saat itu Sir Stamford Raffles seorang
berkebangsaan Inggris telah jatuh cinta terhadap Bali, baik alam dan budaya
dari pulau kecil nan eksotik ini. Setelah beliau datang, maka timbul gagasan
untuk membangun kota pelabuhan dengan Raja Buleleng I Gusti Gde Karang dengan
nama Singapura. Adanya pertentangan paham antara Raja dan Raffles membuat
rencana ini urung terlaksana. Akhirnya Raffles menuju ke daerah lain dan
mewujudkan rencana kota pelabuhannya di daerah tersebut sekarang bernama
Singapura.
Dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan kawasan ini menjadi kawasan perang antara
pasukan Belanda dan tentara nasional. Pentingnya pelabuhan ini bagi pihak
Belanda membuat kawasan ini dipertahankan oleh pihak belanda. Pertempuran besar
pun terjadi pada tanggal 27 agustus 1945, untuk mengenang peristiwa tersebut
maka dibuatlah monumen perjuangan dan tugu prasasti di kawasan ini.
Pada masa
kemerdekaan Kota Singaraja sempat menjadi Ibukota Kepulauan Sunda Kecil dan
Ibukota Provinsi Bali sampai tahun 1958. Pada masa ini pelabuhan ini menjadi
pusat distribusi barang dari Bali ke NTT dan NTB, danbegitu sebaliknya.
Kemudian Ibukota Provinsi Bali dipindahkan ke Denpasar dan diikuti dengan
berpindahnya pelabuhan utama ke daerah Benoa di Denpasar. Perpindahan Ibukota
dan pelabuhan utama Provinsi Bali ini merupakan awal dari menurunnya fungsi
dari Pelabuhan Buleleng. Kegiatan bongkar muat pelabuhan tidak lagi berlangsung
di kawasan ini, dan membuat kawasan Pelabuhan Buleleng ini menjadi tidak
berfungsi sehingga saat ini diberinama Eks Pelabuhan Buleleng, sebuah pelabuhan
Kolonial yang kini tidak berfungsi.
Keterpurukan
dari kawasan ini pada puncaknya terjadi pada tahun 1970-an, selain kawasan ini
sudah tidak berfungsi adanya abrasi dan kurang pedulinya masyarakat akan
kebersihan membuat kawasan ini dijuluki sebagai Pelabuhan Sampah (wawancara
dengan Kadis kebudayaan dan pariwisata Kab. Buleleng, 2010). Pelabuhan ini
berada di sebelah sebelah muara Sungai Buleleng, dimana masyarakat pada saat
itu sering membuang sampah ke aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendah
di daerah pelabuhan. Bangunan peninggalan kolonial di kawasan ini diabaikan
sehingga rapuh dan rusak dimakan usia, yang menyebabkan menurunnya citra
kawasan ini.
Sejak dicanangkan sebagai objek pariwisata yang selain menawarkan keindahan
laut juga nilai sejarah, kawasan ini telah banyak mengalami perubahan. Tuntutan
fasilitas baru pada kawasan ini berujung pada penghancuran bangunan tua.
Pengembangan pariwisata di kawasan ini justru menghilangkan objek fisik berupa
pergudangan yang mencerminkan sejarah pelabuhan kolonial di kawasan ini.
Melihat perkembangan yang terjadi ini diperlukan adanya kegiatan konservasi
yang terintegrasi, sehingga artefak-artefak bersejarah dapat terus
dipertahankan dan menjadi bagian dari karakter Pelabuhan Buleleng sebagai
satu-satunya Pelabuhan Kolonial di Bali. Semenjak berhentinya aktifitas
pelabuhan kegiatan ekonomi masyarakat menjadi menurun sehingga diperlukan
tindakan konservasi yang mampu meningkatkan kehidupan masyarakat lokal di
kawasan.
https://www.google.com/maps/@-8.1040795,115.0890429,192m/data=!3m1!1e3?hl=en
https://www.google.com/maps/@-8.1040795,115.0890429,192m/data=!3m1!1e3?hl=en